TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno mengatakan Pemilu 2019 berbeda dengan pemilu sebelumnya karena pileg dan pilpres dilakukan serentak. Konflik kepentingan partai pun terjadi karena ada “efek ekor jas”. Menurut dia hal-hal yang difokuskan seharusnya tidak hanya ambang batas parlemen, tetapi proses pemilu itu sendiri.
Baca juga: Aneka Jurus Partai Kecil Menembus Ambang Batas Parlemen
"Pragmatisme di kalangan pemilih membuat pemilu tidak menarik. Sementara itu, Politik identitas pun tumbuh sumbur akibat ketiadaan program-program yang ditawarkan," kata dia di Depok, Jawa Barat, Senin, 24/6. Penerapan ambang batas tak relevan jika masih ada masalah politik uang, kualitas caleg, sistem rekrut dan juga kader parpol bermasalah.
Eddy menyatakan hal itu usai acara seminar bertajuk “Quo Vadis Pemilu Legislatif, Urgensi Ambang Batas Parlemen 4 persen dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum “, di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok. Acara ini diselenggarakan oleh Ikatan Alumni FHUI (ILUNI FHUI) bekerja sama dengan Lembaga Kajian Keilmuan FHUI (LK2 FHUI).
Hadir dalam acara tersebut, antara lain, politisi Partai Nasdem Taufik Basari, Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI Dr. Fitra Arsil, Sekjen PAN Eddy Soeparno. Hadir juga Politisi PSI Justin Adrian Untayana, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini dan lainnya.
Taufik Basari menyatakanparlemen atau parlemen threshold (PT) dapat mengurangi jumlah partai di parlemen, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara efektif. "Jika tidak ada ambang batas parlemen, partai-partai yang tidak mendapatkan suara dominan dalam Pemilu tidak dapat bekerja secara optimal," kata dia di Depok, Jawa Barat, Senin, 24/6.
Ia mengatakan Nasdem memang mengusulkan ambang batas 7 persen, karena berdasar kajian kita hal itu bukan hanya untuk parpol saja tapi untuk kepentingan bangsa. Debat ambang batas parlemen, kata dia, selalu terjadi dan seringkali menjadi debat angka tanpa rasionalisasi. “Debat yang tidak produktif ini seharusnya tidak ada lagi.”
ANTARA